HIKMAH BERQURBAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM
Oleh:
Ahmad Rusydi, S.Psi, S.Sos.I.
Syari’at BerqurbanBerqurban adalah ibadah yang dianjurkan oleh Islam untuk dilaksanakan. Terlepas dari perbedaan hukum berqurban (ada yang mengatakan wajib, farduu kifaayah, dan sunnah mua’kkadah) namun dari semua madzhab tetap menganjurkan ibadah qurban dan menyatakan bahwa ibadah ini adalah ibadah yang sangat penting.
Perilaku Berqurban dalam Tinjauan Islam dan Psikologi
Penulis melihat ada beberapa perilaku yang nampak secara psikologis pada orang yang berqurban, salah satunya perilaku prososial. Ketika individu membeli hewan qurban dengan harga yang relatif mahal, bahkan sampai jutaan, maka tidak ada niat lain dalam hatinya kecuali untuk menyembelihnya dan membagikannya kepada orang lain (kecuali niat untuk menyombongkan diri maka ini menjadi kajian lain). Ibadah ini tentunya melatih keikhlasan dan melatih seseorang untuk tidak cinta dunia. Berbeda dengan sedekah yang mungkin tidak terlalu besar pengorbanan biayanya, namun berqurban membutuhkan uang banyak, bahkan beberapa orang sampai menabung untuk membeli hewan qurban. Setelah membelinya, tidak lain dia hanya ingin membagikannya kepada orang lain.
Perilaku ini tentunya merupakan sebuah latihan jiwa (latihan ikhlas) yang cukup berat, dan tentunya semakin berat latihan semakin terbentuk pula jiwa ini menjadi lebih baik dan lebih ikhlas. Dengan latihan keikhlasan ini jiwa senantiasa akan mampu mengendalikan diri dari motivasi keduniaan dan kebendaan. Orang yang bisa lepas dari keduniaan (zuhud) maka hidupnya akan bahagia dan terhindar dari simptom-simptom kecemasan. Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan hidup yang dialami oleh manusia tidak terlepas dari permasalah keduniaan, permasalahan harta, dan permasalahan yang sifatnya fisik dan imanen.
Keikhlasan inilah yang menjadi kunci dari ibadah kurban yang membawa manfaat, tanpa keikhlasan ibadah qurban akan sia-sia secara syar’i maupun secara psikologis, karena itu Allah telah berfirman dalam surat al-Kautsar:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah (2) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus (3)”
Menurut Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan bahwa perintah berkurban adalah salah satu bentuk rasa syukur (gratification) atas banyaknya nikmat yang telah Allah berikan di dunia dan akhirat, dan Allah menginginkan qurban dilakukan hanya untuk Allah tanpa menyekutukannya (antara lain dengan cara sombong).[1]
Ternyata mengekspresikan rasa syukur adalah suatu hal yang memberikan manfaat positif pada kejiwaan. Mark Davies mengatakan bahwa mengekspresikan rasa syukur merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kesehatan emosional, dengan rasa syukur manusia bisa merayakan kebaikan dengan orang lain, Tuhan, dan hidup kita. Dengan bersyukur kita akan belajar menikmati hidup yang telah diberikan oleh Allah.[2]
Orang yang ikhlas dan terbiasa mengeluarkan harta miliknya untuk orang lain, tentunya merasa dirinya tidak terbebani oleh benda-benda tersebut, tidak perlu pusing memikirkan hartanya, perusahaannya, dan pekerjaannya. Bahkan diantara beberapa orang ada yang mengalami gangguan tidur (insomnia) karena selalu memikirkan hal tersebut, ada juga yang mengalami obsessive compulsive disorder dengan ketergantungan terhadap benda dan harta, perilaku berulang-ulang seperti mengecek brankas, rekening, dan sebagainya yang malah menambah kecemasan dalam diri. Islam melatih manusia untuk menjadi zuhud, salsah satunya dengan berqurban, karena berqurban adalah berkorban harta, dan melepaskan ternak yang dicintai, membiasakan diri kehilangan harta benda, bahkan sebenarnya tidak hilang, tapi diberikan kepada orang lain, dan bahkan tidak hanya diberikan kepada orang lain, namun juga untuk membayar kenikmatan di akhirat kelak.
Dalam Islam disunnahkan membagikan daging qurban secara langsung kepada orang yang kita inginkan, hal ini menurut penulis dikarenakan ajaran ini ingin membentuk sifat empati dan prososial pada diri individu yang berqurban. Indivdu yang membagikan secara langsung bisa melihat kondisi masyarakat secara kasat mata, sehingga membuka mainset dan memunculkan insight tentang realitas kehidupan bermasyarakat dan hakikat harta. Individu yang memahami kondisi sekitar tentunya akan menjadi individu yang adaptif, adapun individu yang tidak pernah melihat lingkungan sekitar, maka akan menjadi individu yang maladaptif yang tidak memahami masyarakat, nilai, dan norma masyarakat. Menurut Behaviourisme, individu yang maladaptif adalah individu yang abnormal, belajar sosial dan memahami lingkungan adalah salah satu upaya untuk menjadikan individu yang sehat perilaku.
Ketika daging kurban telah kita berikan kepada orang lain, apa yang kita lihat? Apa yang kita rasakan?, tentunya kita akan melihat kesenangan, senyuman, dan kebahagiaan dari si mustahiq. Tahukan anda ini akan berefek psikologis bagi pemberi dan penerima? Tentunya iya, bagi si penerima dia akan merasa bahagia (happines), merasa dipedulikan, dan merasa diperhatikan. Tentunya ini akan berefek pada kesehatan mental mereka. Kalau saja kebiasaan saling memberi ini sudah menjadi tradisi setiap waktu, tentunya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang sehat mental.
Rasa empati yang muncul dari sikap saling memberi tentunya akan memberikan efek positif bagi jiwa. Ann C. Rumble dan koleganya menemukan dalam penelitiannya bahwa empati akan memberikan keuntungan dalam interaksi sosial, empati juga bisa menjadi alat yang efektif sebagai coping ketika ada orang berbuat salah pada diri kita, empati juga bisa membantu individu menjadi lebih mampu dalam bekerja sama.[3]
Al-Sudhaan dalam bukunya min asbaab al-sa’aadah (faktor penyebab kebahagiaan) mengatakan bahwa kebahagiaan ada dua jenis, yaihtu kebahagiaan fisik (al-sa’aadah al-hissiyah) dan kebahagiaan psikis (al-sa’aadah al-nafsiyah). Kebahagiaan fisik disebabkan karena telah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan, kedamaian rumah tangga, dan kecukupan harta. Sedangkan kebahagiaan psikis dikarenakan oleh bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain.[4] Orang yang diberi daging kurban tentunya mendapatkan kebahagiaan fisik, adapaun orang yang memberikan daging kurban ternyata mendapatkan kebahagiaan fisik. Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan fisik (pleasure) adalah kebahagiaan yang terendah, dan kebahagiaan non-fisik adalah kebahagiaan yang lebih nikmat dari kebahagiaan fisik (pleasure).
Apabila membahagiakan orang lain sudah tertanam dalam diri, maka ini akan menjadikan individu semakin terbentuk jiwanya ke arah yang lebih sempurna. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lalin Anik, Lara B. Aknin, Michael I. Norton, and Elizabeth W. Dunn yang menemukan bahwa orang yang senang memberi maka hidupnya akan lebih bahagia.[5]
Ada salah satu yang menarik dari syari’at kurban. Ternyata daging kurban tidak hanya ditujukan pada orang golongan tertentu saja, artinya dalam ibadah qurban diharapkan seluruh masyarakat dapat merasakan daging kurban, tanpa melihat golongan bahkan agama. Berbeda dengan zakat yang diberikan kepada orang-orang tertentu saja, namun kurban harus diberikan kepada semua orang, baik itu orang miskin, orang kaya, orang muslim, orang non-muslim, dan semua orang boleh diberikan daging kurban. Keunikan dari syari’at ini tentunya mempunyai makna dan maksud tertentu. Penulis berasumsi bahwa syari’at qurban tidak bertujuan sebagai stabilitas ekonomi masyarakat, berebda dengan zakat yang memang difungsikan untuk menyeimbangkan perekonomian masyarakat. Syari’at qurban lebih bertujuan sosial dan psikis, syariat qurban ingin merekatkan toleransi dan kebersamaan (ukhuwah) dalam masyarakat, menjalin kembali jaringan (silaturahim) yang terputus, meningkatkan kepedulian, menumbuhkan rasa dipedulikan, memperbaiki kembali ikatan yang rusak karena konflik dan sebagainya.
Dengan cara yang sederhana, yaitu saling membagikan dagin qurban kepada sekitar, ternyata memberikan dampak yang begitu besar. Daging adalah makanan yang dibutuhkan oleh semua orang, bahkan diidam-idamkan oleh banyak orang, maka tidak ada orang yang menolak diberikan makanan, bahkan mereka merasa senang, karena makanan adalah kebutuhan dasar utama mannusia, maha suci Allah yang telah membuat sistem ini.
Makan dan minum adalah tabi’at manusia yang disenangi, cara ini bisa menumbuhkan rasa bahagia antar sesama, iniliah yang diinginkan Allah dengan syari’at qurban, karenanya Allah mengharamkan puasa di hari qurban, Allah perintahkan seluruh umat Islam untuk makan dan minum, merasakan kebahagiaan. Sebagaimana Rasul bersanda:
“sesungguhnya pada hari iedul adha, hari-hari tasyriq, dan hari arafah adalah hari milik umat Islam, hari di mana kalian makan dan minum”
Menurut pandangan Abraham Maslow, kebutuhan yang terutama dan yang mendasar pada diri mannusia adalah kebutuhan fisik, di antaranya makan dan minum, sebelum terpenuhinya kebutuhan ini manusia tidak akan bisa mencapai tingkatan kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi, begitulah ajaran Islam merupakan ajaran yang sangat manusiawi yang memahami betul kebutuhan manusia.Salah satu yang menjadi analisis penulis dalam syari’at qurban adalah disunnahkan memotong hewan qurban sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini.
“sesungguhnya Rasul saw memerintahkanku untuk menyembelih dua kambing itu sendiri, maka sesungguhnya aku lebih suka menyembelih dengan cara menyembelih sendiri.”[6]
Kalau kita berpikir sejenak, apa yang diinginkan Allah sehingga mensunnahkan demikian?, bukankah ini mengajarkan manusia untuk membunuh?, sungguh Allah SWT tidak mungkin memerintahkan kebatilan pada manusia.Dalam diri manusia terdiri dari tiga unsur jiwa, yaitu jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyyah), jiwa hewan (al-nafs al-hayawaniyah), dan jiwa manusia (al-nafs al-naathiqah). Maka sebenarnya di dalam diri kita ada dorongan-dorongan predator yang harus dilampiaskan secara syar’i. Potensi predator jika tidak dialihkan maka akan menimbulkan bahaya seperti marah, agressif, bahkan melakukan tindakan-tindakan kriminal. Potensi predator dalam psikonalisa dikategorikan sebagai potensi primitif yang tertanam di dalam id. Sama dengan dorongan seksual yang merupakan potensi tumbuhan (potensi produktif), harus dilampiaskan secara syar’i dengan menikah, lalu bagaimanakah melampiaskan potensi predator pada diri manusia?, di siniliah anjuran memotong sendiri dalam berqurban merupakan suatu jawaban, memang kita merasa kasihan ketika menyembelih hewan yang telah kita pelihara, namun sebenarnya alam bawah sadar (tanpa kita sadari) kita sedang melampiaskan potensi predator tersebut.
Kesimpulan
Allah SWT selalu memberikan hikmah di balik perintah-perintahnya. Berqurban adalah ibadah yang bisa menghasilkan pembentukan kepribadian di dalam diri kita, antara lain pribadi yang ikhlas, pribadi bersyukur, pribadi yang zuhud, dan pribadi yang empati. Secara psikis orang tersebut akan merasa bahagia, rileks karena lepas dari kecemasan dunia, bahagia, dan terbebas dari impuls predator.
[1]Wahbah al-Zuhailii, al-Tafsiir al-Muniir fi al-‘Aqiidah wa al-Sharii’ah wa al-Manhaj (Dimashq: Daar al-Fikr al-Ma’aas}ir, 1418H), 602.
[2]Mark Davies, “An Attitude of Gratitude,” (2004), http://www.alive.com.
[3]Ann C. Rumble and Others, “The Benefits of Empathy: When Empathy May Sustain Cooperation in Social Dilemmas,” European Journal of Social Psychology, Volume 40, Issue 5, August (2010): 856–866.
[4]‘Abd al-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Abd Allah al-Sudhaan, min Asbaab al-Sa’aadah (Riyaadh}: al-Buhuuth al-‘Ilmiyyah wa al-Iftaa’, 2009), 7
[5]Lalin Anik and Others, “Feeling Good about Giving: The Benefits (and Costs) of Self-Interested Charitable Behavior,” Working Paper, Harvard Business School & University of British Columbia (2009): 1.
[6]Ahmad al-Busayrii, Ittihaf al-Khiirah al-Maharrah bi al-Zawaa’id al-Masaa’id al-‘Ashrah. Dalam al-Maktabah al-Syaamilah V.3.28.
Sumber
http://www.psikologizone.com/hikmah-berqurban-dalam-perspektif-psikologi-islam/065113738
Sumber
http://www.psikologizone.com/hikmah-berqurban-dalam-perspektif-psikologi-islam/065113738